Level Up Your Life in my 30++

Seorang teman menyarankan untuk kembali menulis di platform ini. Platform yang identik dengan Ifa dan berhasil branding dengan url-nya yang unik. Here, I am : Geographer and a spatial analyst who loves writing and traveling very much. 

Kembali ke rumah ini, dan menemukan draft ini di arsip almari yang berdebu. Judulnya adalah Level Up Your Life in 2020, kosong. Mungkin saat itu aku sedang bersemangat menata hidup sebagai anak rantau pemula. Waktu bergulir tanpa menamatkan episodenya di tahun 2020. Menjelang 2023 aku mulai melanjutkan draft ini. Namun, ternyata hingga pertengahan 2025 draft ini belum juga publish. So, this is my early birthday gift, refleksiku terhadap apa yang ku alami di usia kepala tigaku. 

Tahun 2023, adalah titik balik dari kejenuhan hidupku dan ditahun tersebut aku memulai memiliki target yang spesifik.  Spesifik dan aku berani menuliskannya di salah satu platform media sosialku yang rahasia. Sungguh dua prestasi besar, berani berangan dan berani menyampaikannya. Dua hal yang hingga usiaku 30 tahun ini masih terus aku pelajari.

Di tahun itu, aku mulai lelah dengan pencapaianku yang begitu-begitu saja. Tanpa mengesampingkan rasa syukurku atas semua anugerah, perlindungan dan kemudahan yang Tuhan telah berikan, sebagai manusia biasa, aku ternyata lelah dengan rutinitas tersebut. Tidak perlu ku urai rasa syukurku yang berlimpah atas apa yang bisa aku lakukan terhadap kehidupan orang lain, seperti lazimnya esai-esai beasiswa : Kontribusiku untuk Negeri. Tapi garis besarnya adalah : diriku juga perlu kontribusi untuk diriku sendiri, yang lebih baik.  

Menengok kembali pencapaian-pencapaianku beberapa tahun terakhir, nihil. Tidak ada kursus yang aku ikuti. Begitu halnya tidak ada karya yang bisa aku publikasikan, berbanding terbalik dengan rentetan karyaku di interval tahun 2018 dan 2019. Ditambah dengan tidak ada sertifikasi keahlian yang aku ambil. Bahkan kemampuan dasar berbahasaku sudah expired, ditandai dengan nilai IELTS dan TOEFL ku yang sudah kadaluarsa di tahun 2021. 
 
Aku kembali menengok mimpi-mimpiku yang sudah sekian lama aku abaikan. Namun, selayaknya mesin yang sudah lama tidak dipakai, aku harus bersusah payah menemukan momentum untuk kembali merangkai mimpi itu satu persatu. Apalagi aku ada di lingkungan yang sangat slow living. Jiwa "do more -ku" meronta-ronta namun disisi lain aku juga sudah terlanjur menjadi Ifa yang sangat pemalas. Jadilah aku hidup dengan bare minimumku dalam apapun. 

Hingga akhirnya titik jenuh mendorongku untuk menguji kemampuanku sendiri. Aku merasa capek hidup tanpa target dan pencapaian. Aku memilih untuk menguji kemampuanku dalam bahasa Inggris. Triggernya hanya satu :  aku membaca tulisanku sendiri di blog ini, tentang bagaimana aku berhasil mendapatkan nilai IELTS pertamaku di tahun 2018. 

Terakhir, aku menggunakan kemampuan bahasa Inggrisku untuk melayani pemohon asal Turki di tahun 2022. Setelahnya, aku sama sekali tidak pernah menggunakan Bahasa Inggris untuk apapun. Lalu aku memilih untuk melakukan Tes Toefl ITP secara mendadak. Jadi, aku mendaftar ujian online di ELTI h minus dua dan aku memilih untuk tidak belajar sama sekali karena niatku memang untuk "menguji kemampuanku".  Aku hanya memiliki janji terhadap diriku sendiri saat itu : "Kalau nilaiku lebih dari 550, aku akan tes IELTS awal tahun 2024. Kalau nilaiku di bawah 550, aku akan gunakan nilai itu untuk apply beasiswa LPDP dalam negeri di UGM atau ITB". 

dan bum... aku mendapat nilai 570 untuk ITP dadakanku. Artinya aku harus ujian IELTS di awal tahun 2024. Normalnya, aku akan belajar giat seperti aku dulu di tahun 2018, tapi jiwa kemalasanku benar-benar sudah mendarah daging. Akhirnya aku belajar sesukaku dan intens belajar IELTS satu 4 hari sebelum ujian. Aku yakin betul kalau nilaiku akan biasa-biasa saja, sebanding dengan effortku, namun sekali lagi Allah maha baik. Allah kembali memberikan nilai yang cukup bagiku untuk mendaftar sekolah dan beasiswa. 

Semua berjalan begitu cepat. November aku tes ITP untuk mengetes kemampuanku, Januari aku tes IELTS, Februari aku dapat LoA dari Wageningen University, Februari - Juni aku seleksi LPDP sambil aku mendaftar beasiswa lain seperti AAS dan NZAS, Juni aku pengumuman LPDP,  Awal Agustus aku persiapan keberangkatan, akhir Agustus aku berangkat ke Belanda, lalu September aku sudah mulai perkuliahan masterku. 

Jika Allah sudah berkehendak, apapun akan dijadikan olehNya. Dulu, aku mati-matian mengejar semua beasiswa di tahun 2018. Semua beasiswa aku daftar hingga aku tidak pernah memberikan kesempatan diriku untuk "bernafas". Semua tidak berhasil. Akupun harus merelakan untuk tidak melanjutkan proses LPDP ku di tahun 2018, karena pada kesempatan yang sama aku diterima menjadi PNS. Namun di tahun 2024, Allah memberikan jawaban dari kegagalan-kegagalanku di tahun 2018. 

Apakah semudah itu? tidak. 

Saat ini pun, ketika aku membaca kembali timeline beasiswaku, rasanya aku sesak nafas. Bahkan, satu minggu sebelum keberangkatanku ke Belanda, disaat teman-teman lainku sudah orientasi mahasiswa baru, aku masih harus ke Panti Rapih untuk berobat. Aku kecapekan. Bolak-balik Marabahan, Banjarbaru, Jakarta, Jogja ternyata menguras energiku. Ah tapi itu bukan bagian tersulitnya. Bagian tersulitnya adalah bagaimana aku membangunkan mimpiku kembali. Ketika mimpi itu sudah terbangun, bagian sulit lainnya adalah : Breaking the lazy spell. 

Lalu, berikut adalah hal-hal yang bisa  aku refleksikan sebagai kado ulang tahunku di bulan ini : 
  1. Bijak dalam menggunakan energi. Sebelumnya, aku pernah menggunakan 100 % energi dan kemampuanku dalam pekerjaan. Hingga aku melupakan dan sering mengabaikan diriku sendiri. Sekarang aku mulai belajar menyeimbangkan. Aku ingin menjadi pribadi yang tidak hanya productive tapi  intentional. Artinya, bukan hanya sibuk, tapi tahu kenapa aku melakukan sesuatu, dan apa dampaknya untuk diriku sendiri. Kadang, rasa bersalah muncul ketika aku mengambil waktu untuk diriku sendiri. Tapi aku belajar bahwa rest adalah bagian dari produktivitas, bukan penghalangnya.
  2. Tidak semua hal harus dikejar dengan napas terburu-buru. Ada masa dalam hidup yang memang kita harus lari kencang, tapi ada juga masa di mana kita hanya perlu berjalan perlahan, sembari menikmati pemandangan dan memahami arah. Aku menyadari bahwa banyak hal berharga justru datang ketika aku mulai memperlambat langkah, memberi ruang untuk refleksi dan merawat apa yang selama ini sering aku abaikan—diriku sendiri.
  3. Aku juga belajar bahwa mimpi itu tidak mati. Ia hanya bisa tidur sangat lama ketika kita terlalu sibuk dengan tuntutan dunia luar. Tapi begitu kita berani membangunkannya, ia akan mulai bicara, mengarahkan, bahkan menuntut kita untuk berproses kembali. Dan meski tidak mudah, proses itu jauh lebih menyenangkan ketika kita menjalaninya dengan hati yang jujur—jujur terhadap rasa takut, jujur terhadap harapan, dan jujur terhadap batasan kita.

Kini, aku tidak ingin menaruh standar hidupku berdasarkan timeline orang lain. Aku belajar bahwa delayed doesn't mean denied. Mungkin apa yang aku minta di usia 25 baru bisa diberikan Allah di usia 31 dan itu tidak apa-apa. Dulu aku juga pernah punya mimpi untuk mencapai hal ini berdua, tapi nyatanya aku sendiripun bisa, sekali lagi, itu juga tidak apa-apa. Karena selama perjalanan ini, ternyata aku sedang dipersiapkan, diperkuat, diiberi banyak pelajaran agar saat mimpiku benar-benar datang, aku siap menyambutnya bukan sebagai pelarian, tapi sebagai bentuk syukur dan tanggung jawab.

Maka, inilah hadiah ulang tahunku untuk diriku sendiri: menerima semua fase yang telah aku lalui dengan penuh kasih. Memaafkan kesalahan dan kemalasan yang sempat mendominasi. Menghargai keberanian kecil yang muncul diam-diam. Dan yang paling penting, merayakan kembalinya aku ke rumah mimpi ini—tempat di mana Ifa yang suka menulis, bermimpi, dan menyerap keindahan dunia dalam kata-kata. 

Welcome back, Ifa.
You’re not late. You’re just right on time ✨


                                                                                            Wageningen, 2 Mei 2025 11.40 am

Komentar

  1. MasyaAllah
    Semangat mbak IFA
    Semoga selalu dimudahkan dalam segala proses pencapaian aamiin

    BalasHapus
  2. terimakasih Estin, doa yang sama untuk Estin dan keluarga ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Museum Series 01 : Kinderdijk

antara GVT dan Geospace